Sarno dan Mainan Barunya (Bag. 1)
https://mimasaran2.blogspot.com/2016/01/sarno-dan-mainan-barunya.html
Pagi
menjelang siang yang cukup terik. Sayup-sayup terdengar alunan kicauan burung
yang menambah sedap suasana hari ini. Bertambah sedap dengan kabar yang begitu
menggembirakan untuk anak-anak. Seketika, suasana hampir di semua kelas berubah
nyaris seperti pasar kaget. Gegap gempita mereka menyambut pengumuman dari guru
kelas masing-masing. Hari ini mereka pulang cepat. Kabarnya, semua guru di
sekolah hendak rapat di Kabupaten Banyumas sana. Anak-anak bersorak gembira,
ini artinya akan ada waktu lebih untuk bermain. Anak-anak dari kelas 1 sampai 6
MI Karangsari berhamburan keluar kelas usai berdoa’a setelah belajar. Ada
yang langsung main ke rumah teman, ada yang janjian jam sekian untuk berkumpul
lalu bermain, ada pula yang langsung pulang ke rumah untuk langsung mengerjakan
PR.
Sarno
senang bukan kepalang. Dalam benaknya, ia telah merancang rencana untuk mengisi
waku senggang itu. Pikirnya, setelah pulang ke rumah dan berganti baju, ia akan
melanjutkan game yang sempat tertunda semalam. Sejak diberi hadiah sunatan
berupa handphone layar sentuh dari bibinya yang bekerja di Jakarta dan
diperkenalkan beberapa jenis game yang sudah terinstal di handphonenya, ia
seakan telah memiliki dunia baru sendiri. Lebih banyak waktu ia habiskan dengan
game yang akan beranjak ke level 6 itu. Maksud hati bibinya memberikan hadiah
itu sebagai penghargaan atas keberaniannya disunat sekaligus memberi motivasi
supaya semakin rajin belajar, alih-alih tersemangati, ia malah terlena dengan
permainan dalam benda kecil itu.
Dalam
pikiran Sarno, sudah terbayang-bayang keseruan bermain game, ia pun mempercepat
langkahnya. Ia dan kebanyakan temannya harus berjalan melewati beberapa petak
sawah dan komplek rumah warga untuk sampai tujuan. Bulan ini rupanya telah
masuk mongso ke pitu. Pranoto mongso atau aturan waktu musim
digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan
dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Para petani terlihat mulai
bergeliat ke sawah-sawah mereka untuk menanam padi. Ketika melewati sawah, ia
akan teringat kakeknya. Dulu, mendiang kakeknya sering mengajaknya ngobrol soal
padi. Ia ingat, kata beliau, pranoto mongso ini memberikan arahan
kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso
yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana
prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui
perhitungan aturan waktu musim ini maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Begitu yang sering Sarno dengar dari kakenya.
Sarno
semakin mempercepat langkah, takut sang bapak melihatnya dan menyuruhnya
melakukan sesuatu. Bapaknya pun tengah bekerja di sawah, meneruskan kesibukan
kakeknya yang seorang petani. Benar saja, ia dikejutkan dengan suara lantang
bapaknya yang tengah tandur di sawah pinggir jalan. Dengan muka
suntuk, ia mendekat ke asal suara.
“Nang,
tolong kamu antar makanan ke sini ya.. sepertinya masih ada sisa mendoan di
warung.” Kata bapaknya sambil mengusap peluh yang membasahi kulit hitamnya
hingga tampak mengkilat. Sarno mengangguk pelan dengan muka datar. Lalu
bergegas melanjutkan perjalanan pulang. Ah, seharusnya tadi aku lari saja
biar Bapak tak memanggilku, kata Sarno dalam hati.
Di rumah,
Emak tampak sedikit kelelahan. Di warung kecil miliknya, hanya tersisa beberapa
bakwan dan templek, sementara mendoan telah habis
terjual dan ia tengah bersiap untuk membuatnya lagi. Kali ini emak akan
membuatnya cukup banyak. Ada pesanan dari tetangga untuk acara perjanjen lepas
dzuhur nanti. Mendoan buatan Emaknya memang terbilang sedap.
Orang-orang di desanya memang penikmat gorengan sejati, terutama mendoan.
Mendoan adalah sejenis makanan yang terbuat dari tempe yang digoreng setengah
matang dengan glepung (tepung beras) sehingga rasanya gurih dan renyah. Selain
digoreng setengah matang, keistimewaan lainnya terletak pada tempenya, mendoan
tidak bisa dibuat dari sembarang tempe. Tempe yang digunakan adalah tempe
bungkus khusus yang bentuknya dibuat melebar dan sangat tipis sehingga tidak
perlu diiris lagi. Keterampilan emak membuat mendoan memang telah diwariskan
secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Begitu juga dengan penjual mendoan
lain di desanya, bahkan hampir setiap perempuan dewasa bisa membuat makanan
satu ini. Mendoan biasanya dihidangkan dalam keadaan panas, karena makanan ini
memang lebih nikmat apabila dimakan dalam keadaan masih hangat sembari ditemani
cabai rawit ataupun sambal kecap. Bapak sarno paling suka jika mendoan ini
dijadikan teman minum teh panas pahit terutama saat tengah istirahat sejenak
dari aktivitasnya di sawah.
Emak dengan
cekatan membungkus beberapa bakwan dan templek dengan
potongan daun pisang dan membubuhi lima buah cabai rawit. Pesanan bapak pun
siap.
“Ini nang,
cepat antar ke sawah sana…” emak menyodorkan bungkusan dari daun pisang yang
telah dimasukkan ke keresek. Sarno bergegas ke kamar untuk ganti baju dan ia
masih sempat juga untuk bermain game sebentar. Emak pun geram Sarno tak kunjung
pergi mengantar gorengan untuk bapak. Emak berteriak lantang, mungkin tetangga
sebelah mendengar teriannya juga, “Sarnooo… ganti baju lama sekali.. cepat
sana, mbok bapak kelaparan…!” sarno terkejut. Ia berlari menyambar
bungkusan yang sudah siap sejak tadi dan pergi menuju bapaknya di sawah, tak
lupa juga sambil membawa handphone layar sentuhnya. Ia akan memainkannya di
luar saja, takut jika dimainkan di rumah bakal diganggu ibunya dengan suruhan
semacam membeli bawang, atau bumbu dapur lain.
Di gubuk
sawah tempat bapaknya bekerja, ia duduk dan memulai permainan di handphone
layar sentuhnya. Padahal, beberapa teman lain tampak asik berlarian kesana kemari.
Beberapa anak perempuan seusianya terlihat begitu ceria bermain lumpur bersama
para petani yang tengah tandur. Sementara, ada juga anak lain yang bersiap
mengudarakan layang-layang di lahan sawah yang belum memulai tandur. Ada juga
beberapa anak yang mengajaknya main gobak sodor di tanah kosong
dekat gubuk sawah. Apalagi anginnya tengah sepoi-sepoi dan cuacanya pun cerah.
Waktu yang sangat bagus untuk bermain dan bercengkerama dengan alam. Beberapa
anak tampak berjalan menghampiri Sarno. Mereka hendak mengajaknya bermain gobak
sodor.
“Sarno, ayo
main gobak sodor, kita kurang pemain nih…” kata salah seorang dari
mereka, teman satu kelas Sarno, Darkun namanya.
Rupanya
Darkun dan kawan-kawannya kekurangan pemain. Benar saja, Jumlah pemain dalam
gobak sodor harus berjumlah genap antara 6-10 anak. Jika sudah genap, kemudian
dibagi menjadi dua tim, tim jaga dan tim serang. Sebelum permainan dimulai,
perwakilan masing-masing tim harus pingsut untuk menentukan tim
jaga dan serang. Tim yang kalah akan bertugas menjaga garis. Masing-masing
pemain dalam tim jaga harus bergerak di sepanjang garis melintang atau
horizontal yang telah ditentukan. Jadi kakinya harus selalu menginjak
garis tersebut. Sementara tim yang menang akan bermain dengan berusaha melewati
garis yang dijaga dan jangan sampai tersentuh musuh. Jika salah satu pemain
saja bisa kembali lagi ke pangkalan tanpa tersentuh tim jaga, maka tim serang
menang. Namun jika sampai tersentuh, mereka kalah. Kemudian, jika salah satu
tim kalah, kedua tim akan berganti posisi dan permainan dimulai lagi.
Anak-anak
di desa Karangsari masih suka memainkan berbagai permainan tradisional meski
game seperti yang Sarno mainkan mulai melanda satu dua anak di desanya. Mereka
paling suka memainkan gobak sodor ini, salah satu permainan
tradisional yang populer santero nusantara. Di beberapa daerah sana ada juga
permainan seperti ini dengan nama berbeda.
“Kalian
tahu, gobak sodor itu sudah ada sejak sangat lama, lho. Sejak zaman penjajahan
dulu.” Kata Darkun, teman Sarno suatu kali. Kemudian ia akan bercerita tentang
gobak sodor yang konon pada awalnya merupakan sebuah permainan bagi perajurit
sekaligus arena latihan mereka untuk melawan penjajah. Selain meningkatkan
kelincahan, permainan itu juga melatih kerja sama dalam tim, melatih
kepemimpinan, mengasah kemampuan otak, mengasah kemampuan mencari strategi yang
tepat, dan taktik bermain. Tentu saja tidak kalah dengan game di layar sentuh.
Kali ini
pun Darkun begitu semangat untuk memulai permainan itu. Katanya lagi, dengan
bermain gobag sodor, ia jadi paham bagaimana perjuangan para prajurit saat
perang dulu. Meski begitu, Sarno tetap keukeuh pada permainan di layar
sentuhnya.
“wah,
ngapurane cah.. kalian lihat kan aku lagi asik main game disini, tanggung
soalnya sebentar lagi naik level.” Sarno berkilah. Ia tak bisa lepas dari benda
kecil itu.
“ya sudah
kalau begitu, lanjutkan saja dolananmu itu. Lain kali kami ndak akan mengajakmu
bermain. Ayo kita pergi, cah.” Teman-temannya kecewa. Mereka mendengus kesal.
Rupanya ini bukan pertama kali Sarno menolak ajakan mereka. Padahal mereka
berharap kali ini ia bisa diajak bermain karena Sarno dianggap cukup andal
dalam permainan itu. Mereka pun bergegas pergi meninggalkannya yang kembali
asik bersama keseruan bermain game. Seorang anak di sebelah Darkun mengumpat
kesal, “Memangnya apa bagusnya bermain dengan apa tuh namanya? Android? Huh!
Cuma memainkan jempol tangan begitu kok. Sudahlah kita ndak usah lagi berteman
sama dia!” Darkun menyenggol dengan sikutnya, memberi isyarat untuk tidak
berkata keras-keras, siapa tahu Sarno dengar.
Benar saja,
Sarno mendengar apa yang diucapkan anak tadi. Bagaimana jika mereka pada
akhirnya tidak mau berteman dengannya lagi, bagaimana jika mereka mulai menjauh
darinya bahkan ketika berada di sekolah? ia mulai khawatir. Ia melirik mereka
yang semakin menjauh dan tampak bersiap memulai permainan. Ah, tenang saja,
bukanah dengan permainan di game ini aku masih bisa bermain sekalipun tanpa
mereka. Kata Sarno dalam hati. Ia mencoba menenangkan diri.
bersambung…
lanjut disini.
Post a CommentDefault CommentsFacebook Comments