Sarno dan Mainan Barunya (Bag. 1)



Pagi menjelang siang yang cukup terik. Sayup-sayup terdengar alunan kicauan burung yang menambah sedap suasana hari ini. Bertambah sedap dengan kabar yang begitu menggembirakan untuk anak-anak. Seketika, suasana hampir di semua kelas berubah nyaris seperti pasar kaget. Gegap gempita mereka menyambut pengumuman dari guru kelas masing-masing. Hari ini mereka pulang cepat. Kabarnya, semua guru di sekolah hendak rapat di Kabupaten Banyumas sana. Anak-anak bersorak gembira, ini artinya akan ada waktu lebih untuk bermain. Anak-anak dari kelas 1 sampai 6 MI Karangsari berhamburan keluar kelas usai  berdoa’a setelah belajar. Ada yang langsung main ke rumah teman, ada yang janjian jam sekian untuk berkumpul lalu bermain, ada pula yang langsung pulang ke rumah untuk langsung mengerjakan PR.
Sarno senang bukan kepalang. Dalam benaknya, ia telah merancang rencana untuk mengisi waku senggang itu. Pikirnya, setelah pulang ke rumah dan berganti baju, ia akan melanjutkan game yang sempat tertunda semalam. Sejak diberi hadiah sunatan berupa handphone layar sentuh dari bibinya yang bekerja di Jakarta dan diperkenalkan beberapa jenis game yang sudah terinstal di handphonenya, ia seakan telah memiliki dunia baru sendiri. Lebih banyak waktu ia habiskan dengan game yang akan beranjak ke level 6 itu. Maksud hati bibinya memberikan hadiah itu sebagai penghargaan atas keberaniannya disunat sekaligus memberi motivasi supaya semakin rajin belajar, alih-alih tersemangati, ia malah terlena dengan permainan dalam benda kecil itu.
Dalam pikiran Sarno, sudah terbayang-bayang keseruan bermain game, ia pun mempercepat langkahnya. Ia dan kebanyakan temannya harus berjalan melewati beberapa petak sawah dan komplek rumah warga untuk sampai tujuan. Bulan ini rupanya telah masuk mongso ke pitu. Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Para petani terlihat mulai bergeliat ke sawah-sawah mereka untuk menanam padi. Ketika melewati sawah, ia akan teringat kakeknya. Dulu, mendiang kakeknya sering mengajaknya ngobrol soal padi. Ia ingat, kata beliau, pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan aturan waktu musim ini maka alam dapat menjaga keseimbangannya. Begitu yang sering Sarno dengar dari kakenya.
Sarno semakin mempercepat langkah, takut sang bapak melihatnya dan menyuruhnya melakukan sesuatu. Bapaknya pun tengah bekerja di sawah, meneruskan kesibukan kakeknya yang seorang petani. Benar saja, ia dikejutkan dengan suara lantang bapaknya yang tengah tandur di sawah pinggir jalan. Dengan muka suntuk, ia mendekat ke asal suara.
Nang, tolong kamu antar makanan ke sini ya.. sepertinya masih ada sisa mendoan di warung.” Kata bapaknya sambil mengusap peluh yang membasahi kulit hitamnya hingga tampak mengkilat. Sarno mengangguk pelan dengan muka datar. Lalu bergegas melanjutkan perjalanan pulang. Ah, seharusnya tadi aku lari saja biar Bapak tak memanggilku, kata Sarno dalam hati.
Di rumah, Emak tampak sedikit kelelahan. Di warung kecil miliknya, hanya tersisa beberapa bakwan dan templek, sementara mendoan telah habis terjual dan ia tengah bersiap untuk membuatnya lagi. Kali ini emak akan membuatnya cukup banyak. Ada pesanan dari tetangga untuk acara perjanjen lepas dzuhur nanti. Mendoan buatan Emaknya memang terbilang sedap. Orang-orang di desanya memang penikmat gorengan sejati, terutama mendoan. Mendoan adalah sejenis makanan yang terbuat dari tempe yang digoreng setengah matang dengan glepung (tepung beras) sehingga rasanya gurih dan renyah. Selain digoreng setengah matang, keistimewaan lainnya terletak pada tempenya, mendoan tidak bisa dibuat dari sembarang tempe. Tempe yang digunakan adalah tempe bungkus khusus yang bentuknya dibuat melebar dan sangat tipis sehingga tidak perlu diiris lagi. Keterampilan emak membuat mendoan memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Begitu juga dengan penjual mendoan lain di desanya, bahkan hampir setiap perempuan dewasa bisa membuat makanan satu ini. Mendoan biasanya dihidangkan dalam keadaan panas, karena makanan ini memang lebih nikmat apabila dimakan dalam keadaan masih hangat sembari ditemani cabai rawit ataupun sambal kecap. Bapak sarno paling suka jika mendoan ini dijadikan teman minum teh panas pahit terutama saat tengah istirahat sejenak dari aktivitasnya di sawah.
Emak dengan cekatan membungkus beberapa bakwan dan templek dengan potongan daun pisang dan membubuhi lima buah cabai rawit. Pesanan bapak pun siap.
“Ini nang, cepat antar ke sawah sana…” emak menyodorkan bungkusan dari daun pisang yang telah dimasukkan ke keresek. Sarno bergegas ke kamar untuk ganti baju dan ia masih sempat juga untuk bermain game sebentar. Emak pun geram Sarno tak kunjung pergi mengantar gorengan untuk bapak. Emak berteriak lantang, mungkin tetangga sebelah mendengar teriannya juga, “Sarnooo… ganti baju lama sekali.. cepat sana, mbok bapak kelaparan…!” sarno terkejut. Ia berlari menyambar bungkusan yang sudah siap sejak tadi dan pergi menuju bapaknya di sawah, tak lupa juga sambil membawa handphone layar sentuhnya. Ia akan memainkannya di luar saja, takut jika dimainkan di rumah bakal diganggu ibunya dengan suruhan semacam membeli bawang, atau bumbu dapur lain.
Di gubuk sawah tempat bapaknya bekerja, ia duduk dan memulai permainan di handphone layar sentuhnya. Padahal, beberapa teman lain tampak asik berlarian kesana kemari. Beberapa anak perempuan seusianya terlihat begitu ceria bermain lumpur bersama para petani yang tengah tandur. Sementara, ada juga anak lain yang bersiap mengudarakan layang-layang di lahan sawah yang belum memulai tandur. Ada juga beberapa anak yang mengajaknya main gobak  sodor di tanah kosong dekat gubuk sawah. Apalagi anginnya tengah sepoi-sepoi dan cuacanya pun cerah. Waktu yang sangat bagus untuk bermain dan bercengkerama dengan alam. Beberapa anak tampak berjalan menghampiri Sarno. Mereka hendak mengajaknya bermain gobak sodor.
“Sarno, ayo main gobak sodor, kita kurang pemain nih…” kata salah seorang dari mereka, teman satu kelas Sarno, Darkun namanya.
Rupanya Darkun dan kawan-kawannya kekurangan pemain. Benar saja, Jumlah pemain dalam gobak sodor harus berjumlah genap antara 6-10 anak. Jika sudah genap, kemudian dibagi menjadi dua tim, tim jaga dan tim serang. Sebelum permainan dimulai, perwakilan masing-masing tim harus pingsut  untuk menentukan tim jaga dan serang. Tim yang kalah akan bertugas menjaga garis. Masing-masing pemain dalam tim jaga harus bergerak di sepanjang garis melintang atau horizontal yang  telah ditentukan. Jadi kakinya harus selalu menginjak garis tersebut. Sementara tim yang menang akan bermain dengan berusaha melewati garis yang dijaga dan jangan sampai tersentuh musuh. Jika salah satu pemain saja bisa kembali lagi ke pangkalan tanpa tersentuh tim jaga, maka tim serang menang. Namun jika sampai tersentuh, mereka kalah. Kemudian, jika salah satu tim kalah, kedua tim akan berganti posisi dan permainan dimulai lagi.
Anak-anak di desa Karangsari masih suka memainkan berbagai permainan tradisional meski game seperti yang Sarno mainkan mulai melanda satu dua anak di desanya. Mereka paling suka memainkan gobak sodor ini, salah satu permainan tradisional yang populer santero nusantara. Di beberapa daerah sana ada juga permainan seperti ini dengan nama berbeda.
“Kalian tahu, gobak sodor itu sudah ada sejak sangat lama, lho. Sejak zaman penjajahan dulu.” Kata Darkun, teman Sarno suatu kali. Kemudian ia akan bercerita tentang gobak sodor yang konon pada awalnya merupakan sebuah permainan bagi perajurit sekaligus arena latihan mereka untuk melawan penjajah. Selain meningkatkan kelincahan, permainan itu juga melatih kerja sama dalam tim, melatih kepemimpinan, mengasah kemampuan otak, mengasah kemampuan mencari strategi yang tepat, dan taktik bermain. Tentu saja tidak kalah dengan game di layar sentuh.
Kali ini pun Darkun begitu semangat untuk memulai permainan itu. Katanya lagi, dengan bermain gobag sodor, ia jadi paham bagaimana perjuangan para prajurit saat perang dulu. Meski begitu, Sarno tetap keukeuh pada permainan di layar sentuhnya.
“wah, ngapurane cah.. kalian lihat kan aku lagi asik main game disini, tanggung soalnya sebentar lagi naik level.” Sarno berkilah. Ia tak bisa lepas dari benda kecil itu.
“ya sudah kalau begitu, lanjutkan saja dolananmu itu. Lain kali kami ndak akan mengajakmu bermain. Ayo kita pergi, cah.” Teman-temannya kecewa. Mereka mendengus kesal. Rupanya ini bukan pertama kali Sarno menolak ajakan mereka. Padahal mereka berharap kali ini ia bisa diajak bermain karena Sarno dianggap cukup andal dalam permainan itu. Mereka pun bergegas pergi meninggalkannya yang kembali asik bersama keseruan bermain game. Seorang anak di sebelah Darkun mengumpat kesal, “Memangnya apa bagusnya bermain dengan apa tuh namanya? Android? Huh! Cuma memainkan jempol tangan begitu kok. Sudahlah kita ndak usah lagi berteman sama dia!” Darkun menyenggol dengan sikutnya, memberi isyarat untuk tidak berkata keras-keras, siapa tahu Sarno dengar.
Benar saja, Sarno mendengar apa yang diucapkan anak tadi. Bagaimana jika mereka pada akhirnya tidak mau berteman dengannya lagi, bagaimana jika mereka mulai menjauh darinya bahkan ketika berada di sekolah? ia mulai khawatir. Ia melirik mereka yang semakin menjauh dan tampak bersiap memulai permainan. Ah, tenang saja, bukanah dengan permainan di game ini aku masih bisa bermain sekalipun tanpa mereka. Kata Sarno dalam hati. Ia mencoba menenangkan diri.
bersambung… lanjut disini.

Post a CommentDefault Comments

emo-but-icon

Hot in week

Comments

Side Ads


jadwal-sholat

Text Widget

Connect Us

item