Teruskan Membaca, Mulailah Menulis
https://mimasaran2.blogspot.com/2016/01/teruskan-membaca-mulailah-menulis.html
Oleh : Abdul Latief
Saat sedang berkunjung ke perpustakaan madrasah,
kami diberi stiker seruan membaca yang berbunyi, “Let’s Read, anytime
anywhere.” Nampaknya, dimana-mana sedang ramai-ramainya seruan membudayakan
literasi. Di acara salah satu televisi swasta, tampil pula pahlawan-pahlawan
literasi yang menginspirasi. Sebut saja, Bapak –namanya lupa- dengan kuda poni
kesayangannya berkeliling desa dan menjajakan buku bacaan gratis untuk
dipinjamkan ke anak-anak. Tak kalah pula, di daerah pesisir pantai seorang
Bapak –lagi-lagi namanya lupa- melalui perahunya, ia menjajakan buku bacaan
gratis untuk dipinjamkan ke anak-anak. Mulia sekali, bukan? Dan tentu saja
masih banyak kisah-kisah inspiratif lain demi membudayakan literasi dan demi
generasi masa depan yang melek buku.
Namun, di sudut lain, ada pula seorang anak yang
bahkan tak diizinkan oleh orangtuanya untuk membaca buku bacaan fiksi! Seperti
diceritakan seorang teman, seorang anak yang sebut saja bernama Luna memang
telah menyukai buku dari kecil. Semasa SD ia suka sekali membaca cerita rakyat
dan ia gemar sekali ke perpustakaan sekolahnya. Sudah banyak cerita rakyat yang
dilahapnya, seperti Lutung Kasarung, Kebo Iwa, Joko Seger, Sangkuriang, dan
lain sebagainya. Selain cerita rakyat, ia juga menyukai komik dan cerita
bergambar lain. Menginjak SMP, ia pun kerap wara-wiri di perpustakaan. Meminjam
buku ini-itu. Sebut saja serial Goosebumps, Lima Sekawan, kumpulan cerpen, Seri
Tokoh Dunia, dan lain-lain. Bahkan dalam sehari ia bisa menghatamkan satu buku
Goosebumps karya R.L Stine itu!
Seorang teman menuturkan, karena kerapnya Luna meminjam
buku fiksi, mungkin orang tuanya jadi sedikit resah perihal nilai akademiknya.
Waktu yang sedianya untuk belajar selepas mengerjakan PR, malah ia gunakan
untuk membaca cerita fiksi. Pantas saja, orang tua mana yang anteng
saja melihat anaknya tak belajar. Mereka akhirnya melarang Luna untuk meminjam
segala macam buku fiksi mulai dari komik hingga novel. Luna tak gentar, tetap
saja ia meminjam buku bacaan dan diam-diam membacanya. Tempat paling aman
menurutnya adalah di kamar neneknya. Hal itu berlangsung cukup lama hingga
akhirnya ia ketahuan oleh Mamanya dan dilarang keras lagi untuk membaca bacaan
fiksi. Orang tuanya berfikir hal tersebut tidak ada manfaatnya dan membaca buku
pelajaran adalah yang lebih penting dan bermanfaat menurutnya. Luna kesal tentu
saja, tapi ia mencoba memahami apa yang orangtuanya inginkan. Tak lain adalah
untuk kebaikannya juga.
Luna ingat sekali, saat itu ia sedang
senang-senangnya memulai menulis. Teman-teman sekelasnya juga banyak yang kutu
buku dan memulai menulis cerita. Ia ikut-ikutan dengan menulis sebuah cerita
fiksi yang konon berjudul “Takdir Cinta”. Karena keasyikan menulis itu,
rangkingnya jadi anjlok menjadi rangking 6 yang biasanya selalu masuk tiga
besar! Akhirnya ia berhenti menulis meski sudah menghabiskan satu buku tulis
untuk menulis ceritanya dan beberapa part lagi bahkan akan ending. Meski
kadang-kadang ia melanjutkan menulis ceritanya itu, tapi karena ujian nasional
datang dan ia harus fokus untuk itu, ia pun berhenti total dari menulis.
Semasa SMA, ia semakin jarang membaca bacaan
fiksi apalagi menulis. Ia terlalu asyik dengan dunia akademiknya. Seperti
dikatakan seorang teman, Luna yang bersekolah bersama kakaknya di SMA yang sama
yang hanya berselisih satu tahun, kerap dibanding-bandingkan dengan kakanya
itu. Bukan saja oleh orangtuanya, gurunya pun demikian. Ia tahu ia tak sepintar
kakaknya, tetapi lingkungan seakan memaksanya untuk menjadi seperti kakanya. Ia
pun akhirnya tidak bisa menyalurkan hobinya membaca cerita fiksi saat itu.
Terlepas dari itu, Luna, sampai akhir masa SMA,
rupanya ia telah kehilangan gairah membudayakan literasi. Hingga akhirnya ia
menemukan gairah itu kembali lewat komunitas kepenulisan yang diikutinya di
kampus. Ia banyak belajar dari para penulis masyhur dan para seniornya. Ia pun
sempat menjadi reporter majalah kampus melalui persma kampus, dan beberapa kali
mengikuti seminar kepenulisan. Jika sudah seperti itu, semangatnya begitu
menyala-nyala. Namun sayangnya, setelah beberapa minggu bahkan beberapa hari
tak berjibaku dengan tulisan, semangatnya terus meredup bahkan mati.
Dan saat menceritakan ini, katanya, ia sedang
mencoba menyalakan kembali nyala semangat yang sempat mati. Meski angin dengan
segala godaannya terus berembus berusaha memadamkan nyala kecil itu, ia sekuat
tenaga berusaha supaya nyala akan tetap ada.
Meski juga novel-novel yang telah dibelinya
teronggok dan masih menari-nari berusaha menarik perhatian si empunya, tak
kunjung juga mereka terjamah, karena lagi-lagi orang tua Luna katanya tidak
menyukai jika ia berimajinasi melalui novel, akan lebih baik menurutnya jika
yang dibaca itu adalah buku berbobot yang berhubungan dengan jurusan kuliah
yang ia ambil. Tidak buruk juga, hanya mungkin akan sedikit lebih jenuh tanpa
adanya penawar berupa cerita fiksi.
Ia memang tidak bercita-cita menjadi seorang
penulis. Menulis saja ia masih payah. Apalagi bisa menyaingi Andrea Hirata
ataupun Tere Liye, ah, tidak ada waktu untuk memimpikan hal mustahil seperti
itu. Tapi, setidaknya melalui menulis, ia bisa menjadi abadi, bukan? Seperti
kata Pramudya Ananta Toer, “Menulislah, Maka Kamu Akan Abadi.” Dan jika ingin
benar-benar menyaingi Andrea Hirata ataupun Tere Liye, hampir semua penulis pun
menyarankan ini: Membaca. karena, tulisan-tulisan kita sedikit banyak
dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang kita baca.
Jadi, Budayakan Literasi! Teruskan membaca,
mulailah Menulis. Teruskan menulis, perbanyak membaca.
Demikianlah, sedikit kisah tentangnya, sedikit
kisah tentang buku.
Post a CommentDefault CommentsFacebook Comments