Teruskan Membaca, Mulailah Menulis

Oleh : Abdul Latief



Budayakan Literasi! Teruskan Membaca, Mulailah Menulis.
Saat sedang berkunjung ke perpustakaan madrasah, kami diberi stiker seruan membaca yang berbunyi, “Let’s Read, anytime anywhere.” Nampaknya, dimana-mana sedang ramai-ramainya seruan membudayakan literasi. Di acara salah satu televisi swasta, tampil pula pahlawan-pahlawan literasi yang menginspirasi. Sebut saja, Bapak –namanya lupa- dengan kuda poni kesayangannya berkeliling desa dan menjajakan buku bacaan gratis untuk dipinjamkan ke anak-anak. Tak kalah pula, di daerah pesisir pantai seorang Bapak –lagi-lagi namanya lupa- melalui perahunya, ia menjajakan buku bacaan gratis untuk dipinjamkan ke anak-anak. Mulia sekali, bukan? Dan tentu saja masih banyak kisah-kisah inspiratif lain demi membudayakan literasi dan demi generasi masa depan yang melek buku.
Namun, di sudut lain, ada pula seorang anak yang bahkan tak diizinkan oleh orangtuanya untuk membaca buku bacaan fiksi! Seperti diceritakan seorang teman, seorang anak yang sebut saja bernama Luna memang telah menyukai buku dari kecil. Semasa SD ia suka sekali membaca cerita rakyat dan ia gemar sekali ke perpustakaan sekolahnya. Sudah banyak cerita rakyat yang dilahapnya, seperti Lutung Kasarung, Kebo Iwa, Joko Seger, Sangkuriang, dan lain sebagainya. Selain cerita rakyat, ia juga menyukai komik dan cerita bergambar lain. Menginjak SMP, ia pun kerap wara-wiri di perpustakaan. Meminjam buku ini-itu. Sebut saja serial Goosebumps, Lima Sekawan, kumpulan cerpen, Seri Tokoh Dunia, dan lain-lain. Bahkan dalam sehari ia bisa menghatamkan satu buku Goosebumps karya R.L Stine itu!
Seorang teman menuturkan, karena kerapnya Luna meminjam buku fiksi, mungkin orang tuanya jadi sedikit resah perihal nilai akademiknya. Waktu yang sedianya untuk belajar selepas mengerjakan PR, malah ia gunakan untuk membaca cerita fiksi. Pantas saja, orang tua mana yang anteng saja melihat anaknya tak belajar. Mereka akhirnya melarang Luna untuk meminjam segala macam buku fiksi mulai dari komik hingga novel. Luna tak gentar, tetap saja ia meminjam buku bacaan dan diam-diam membacanya. Tempat paling aman menurutnya adalah di kamar neneknya. Hal itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya ia ketahuan oleh Mamanya dan dilarang keras lagi untuk membaca bacaan fiksi. Orang tuanya berfikir hal tersebut tidak ada manfaatnya dan membaca buku pelajaran adalah yang lebih penting dan bermanfaat menurutnya. Luna kesal tentu saja, tapi ia mencoba memahami apa yang orangtuanya inginkan. Tak lain adalah untuk kebaikannya juga.
Luna ingat sekali, saat itu ia sedang senang-senangnya memulai menulis. Teman-teman sekelasnya juga banyak yang kutu buku dan memulai menulis cerita. Ia ikut-ikutan dengan menulis sebuah cerita fiksi yang konon berjudul “Takdir Cinta”. Karena keasyikan menulis itu, rangkingnya jadi anjlok menjadi rangking 6 yang biasanya selalu masuk tiga besar! Akhirnya ia berhenti menulis meski sudah menghabiskan satu buku tulis untuk menulis ceritanya dan beberapa part lagi bahkan akan ending. Meski kadang-kadang ia melanjutkan menulis ceritanya itu, tapi karena ujian nasional datang dan ia harus fokus untuk itu, ia pun berhenti total dari menulis.
Semasa SMA, ia semakin jarang membaca bacaan fiksi apalagi menulis. Ia terlalu asyik dengan dunia akademiknya. Seperti dikatakan seorang teman, Luna yang bersekolah bersama kakaknya di SMA yang sama yang hanya berselisih satu tahun, kerap dibanding-bandingkan dengan kakanya itu. Bukan saja oleh orangtuanya, gurunya pun demikian. Ia tahu ia tak sepintar kakaknya, tetapi lingkungan seakan memaksanya untuk menjadi seperti kakanya. Ia pun akhirnya tidak bisa menyalurkan hobinya membaca cerita fiksi saat itu.
Terlepas dari itu, Luna, sampai akhir masa SMA, rupanya ia telah kehilangan gairah membudayakan literasi. Hingga akhirnya ia menemukan gairah itu kembali lewat komunitas kepenulisan yang diikutinya di kampus. Ia banyak belajar dari para penulis masyhur dan para seniornya. Ia pun sempat menjadi reporter majalah kampus melalui persma kampus, dan beberapa kali mengikuti seminar kepenulisan. Jika sudah seperti itu, semangatnya begitu menyala-nyala. Namun sayangnya, setelah beberapa minggu bahkan beberapa hari tak berjibaku dengan tulisan, semangatnya terus meredup bahkan mati.
Dan saat menceritakan ini, katanya, ia sedang mencoba menyalakan kembali nyala semangat yang sempat mati. Meski angin dengan segala godaannya terus berembus berusaha memadamkan nyala kecil itu, ia sekuat tenaga berusaha supaya nyala akan tetap ada.
Meski juga novel-novel yang telah dibelinya teronggok dan masih menari-nari berusaha menarik perhatian si empunya, tak kunjung juga mereka terjamah, karena lagi-lagi orang tua Luna katanya tidak menyukai jika ia berimajinasi melalui novel, akan lebih baik menurutnya jika yang dibaca itu adalah buku berbobot yang berhubungan dengan jurusan kuliah yang ia ambil. Tidak buruk juga, hanya mungkin akan sedikit lebih jenuh tanpa adanya penawar berupa cerita fiksi.
Ia memang tidak bercita-cita menjadi seorang penulis. Menulis saja ia masih payah. Apalagi bisa menyaingi Andrea Hirata ataupun Tere Liye, ah, tidak ada waktu untuk memimpikan hal mustahil seperti itu. Tapi, setidaknya melalui menulis, ia bisa menjadi abadi, bukan? Seperti kata Pramudya Ananta Toer, “Menulislah, Maka Kamu Akan Abadi.” Dan jika ingin benar-benar menyaingi Andrea Hirata ataupun Tere Liye, hampir semua penulis pun menyarankan ini: Membaca. karena, tulisan-tulisan kita sedikit banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang kita baca.
Jadi, Budayakan Literasi! Teruskan membaca, mulailah Menulis. Teruskan menulis, perbanyak membaca.
Demikianlah, sedikit kisah tentangnya, sedikit kisah tentang buku.

Post a CommentDefault Comments

emo-but-icon

Hot in week

Comments

Side Ads


jadwal-sholat

Text Widget

Connect Us

item