Lanjutan dari Sarno dan Mainan Barunya (Bag. 2)

Sarno tampak kegirangan, ia naik level 10 game petualangan yang sejak kemarin dimainkan. Malam ini karena tidak ada pekerjaan rumah dari sekolah, ia jadi tidak belajar. Kakak perempuannya yang tahun ini lulus SMA meski tidak ada PR sekalipun, ia tetap belajar. Sarno pun sudah sering diberitahu bahwa belajar bukan hanya ketika ada pekerjaan rumah. Belajar dapat dilakukan dengan membaca materi yang telah dipelajari hari itu atau bahkan membaca materi yang belum dipelajari. Setipa kali diberitahu seperti itu, ia mengangguk paham lalu handphonenya akan ia diamkan sejenak dan memulai belajar. Tak sampai lima menit, rupanya ia kembali mengambil handphonenya dan melanjutkan permainan. Katanya, ia tidak bisa fokus belajar jika belum menuntaskan permainan. Bukan sekali ini saja ia berkilah tidak mau belajar. Beberapa kali ia juga sampai terlupa dengan tugas dari sekolah dan esok paginya ia baru kelabakan meminta tolong kakaknya mengerjakan peernya. Akhirnya sarno jadi malas belajar. Ia jadi sering lupa dengan tugas sekolahnya, entah benar-benar lupa atau lupa yang dibuat-buat. Ujung-ujungnya ia akan meminta tolong pada kakaknya. Jika seperti ini terus, bisa-bisa ia tidak akan lulus di ujian mendatang.
Awalnya, baik bapak, emak ataupun kakaknya menganggap wajar perihal Sarno yang lebih sering memainkan gamenya, karena memang itu adalah mainan baru dari sang tante. Tapi, bukannya bosan, ia malah jadi semakin sering memainkannya sampai-sampai lupa waktu. Bapak dan emak tentu saja geram. Bahkan bapak sudah mulai menyusun rencana yang akan dilancarkan malam ini. emak sangat setuju dan mendukung bapak sepenuhnya. Rencananya, malam ini ketika Sarno telah pulas tertidur, bapak akan meyelinap masuk ke kamarnya lalu mengambil diam-diam handphonenya dan berpura-pura tidak tahu akan kehilangan itu. Dengan begitu, sarno yang tahun ini hendak ujian nasional juga dapat lebih fokus belajar tanpa terganggu mainan yang membuatnya lupa waktu. Rasanya, tangan bapak sudah sangat gatal ingin segera mengambil benda kecil itu dari tangan anaknya.
Malam semakin larut, bulanpun semakin meninggi. Suara jangkrik malam itu nyaring dan menambah damai suasana desa yang masih jauh dari hiruk pikuk kota. Satu persatu dari mereka mulai menguap pertanda kantuk siap melanda. Sambil mengiris daun bawang untuk dibubuhkan pada adonan mendoan esok pagi yang akan dijual di warung kecil miliknya, sesekali emak melongok melihat televisi yang tengah ditonton Bapak. Sementara kakak perempuannya masih sibuk menghitung dan menerapkan rumus-rumus matematika tugas dari sekolahnya. Ia bertekad untuk tetap melanjutkan ke bangku kuliah meski keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Maka dari itu, di kelas tiga ini ia semakin intensif belajar untuk mendapatkan beasiswa. Bapak ibunya tentu sangat senang melihat semangat yang begitu membara. Justru yang membuat mereka khawatir adalah Sarno yang begitu terlena dengan game di layar sentuhnya.
“Yeah, akhirnya tinggal satu level lagi!”
Sarno berteriak girang. Ia tersenyum lebar lalu ngulet untuk meregangkan badannya. Tinggal satu level lagi game petualangan yang ia mainkan sejak beberapa hari yang lalu akan segera berakhir. Tapi tentu saja hal itu tidak akan mengakhirinya memainkan handphonenya. Masih banyak game-game lain yang belum ia mainkan. Sarno beranjak ke dapur mencari beberapa potong kue atau sisa gorengan yang belum terjual hari ini. Biarpun sudah tidak anget tapi rasanya masih lumayan dapat dinikmati. Ia bersiap memulai level terakhir ketika ternyata ia mulai merasakan sakit pada perutnya. Perutnya begitu mulas dan melilit-lilit. Ia beranjak pergi ke kamar mandi dengan sedikit berlari.        Tunggu dulu, ada yang terlupa. Ia kembali menghampiri handponenya yang tergeletak di meja dengan masih memegangi perutnya yang melilit. Satu lagi kebiasaan Sarno ketika buang air besar yaitu dengan membawa handponenya. Katanya, daripada bengong entah memikirkan apa, lebih baik sambil melanjutkan game. Berkali-kali kakaknya berkata untuk tidak membawa benda itu saat berada di kamar mandi. Takut jatuh tentu saja. Padahal akan sangat disayagkan jika memang benar sampai rusak, handphone keluaran Cina yang belum banya orang di desanya memilikinya jika dijual dalam keadaan rusak tentu harganya akan sangat jatuh. Lagi-lagi, Sarno tetap tidak mengindahkan apa yang kakaknya katakan. ia tetap melanjutkan game di kamar mandi.
“praaaang… Aaargh…”
Seisi rumah terkejut mendengar suara benda terjatuh dan teriakan sarno dari dalam kamar mandi. Mereka bergegas menghampiri asal suara dan dengan muka penuh selidik, bapak menggedor-gedor pintu kamar mandi. Takut terjadi hal yang tidak-tidak.
“Kamu kenapa, nang?” emak bertanya dengan nada khawatir.
“pak.. mak.. handphonenya jatuh.” Ucap sarno dari dalam kamar mandi. ia segera membuka pintu dan dengan wajah memelas, ia menunjuk handphonenya yang sepertinya sudah tak bisa tertolong lagi. Sarno mulai sesenggukan.
Kakak perempuannya menimpali, “kan mbak udah bilang no, jangan main game di kamar mandi… jadinya kayak gitu, kan…”
Dengan wajah sendu, sarno segera memunguti baterai dan handphonenya yang berserakan di lantai kamar mandi. setelah dikeringkan secukupnya dengan lap, ia buru-buru rmemasang kembali baterai handponenya. Semoga saja masih bisa hidup. Oh tidak, ternyata benda kecil itu tak bisa hidup. Berkali-kali mencoba tetap saja hasilnya layar tak memunculkan warna-warni gambar, hanya gelap saja.
“Pak, bagaimana ini, handponenya mati.” Sarno mulai tersedu. Ia merasa bersalah atas apa yang ia perbuat hari ini. Ia menyodorkan handponenya kepada bapaknya. Sang bapak mengamati dan berlagak seperti seorang ahli servis handpone handal. Ia manggut-manggut mengerti, “Ini harus dibawa ke tukang servis hp, nang.” Jelas bapaknya.
sarno mendesah nafas panjang. Ia tidak bisa bermain game lagi. Ketakutan lain pun muncul, ia teringat yang dikatakan temannya siang tadi. Ia takut mereka tidak mau lagi berteman dengannya. Kini, game yang ia elu-elukan sudah tiada. Rasanya ia ingin sekali minta maaf pada teman-temannya karena telah membuat mereka kesal dan kecewa.
Tanpa sepengetahuan Sarno, bapaknya tersenyum tipis, begitu pula dengan emak dan kakaknya. Sementara sarno mulai sesenggukan. Meski bukan ahli servis hp, bapaknya paham jika handpone yang mati karena terjatuh dan basah dapat ditangani tanpa harus dibawa ke tukang servis handal. “Sepertinya ini akan lama diperbaiki, nang.” Ucap bapak tegas. Ini kesempatan bagus untuk membuat Sarno jera dan tidak lagi terlalu sering bermain game yang hanya akan mengganggu belajar dan hubungannya dengan orang-orang sekitar. Bapak pun tidak jadi melancarkan aksi yang sudah direncanakan dengan sangat matang itu. Emak pun lega, semoga sarno dapat mengambil pelajaran dari peristiwa malam ini.
Sarno menunduk lesu, “Maafkan Sarno pak, hapenya jadi mati seperti itu. Harusnya tadi kula nurut sama kata-kata mbak Surti.”
“baguslah kalau kamu paham. Ini juga salah satu akibat karena kamu sampai lupa waktu dalam bermain game itu. Sampai lupa belajar, PR, lupa teman-teman, bahkan sampai malas membantu emak dan bapak.” Emak menimpali dengan nada meninggi. Sarno menangis lirih. Mbak surti menenangkannya dan bapak menyuruh mereka berdua tidur. Malam sudah semakin gelap. Biar urusan handphone bapak saja yang menangani.
***
Beberapa hari sejak handphonenya mati dan tidak pernah memainkan game lagi, sarno jadi memikirkan banyak hal. Kenapa ia bisa begitu terlena dengan permainan yang hanya menggerakkan jempol tangan itu, sedangkan di luar sana banyak sekali permainan tradisional yang perlu dilestarikan dan tentu menyehatkan badan untuk anak-anak seusianya. Ia juga telah meminta maaf kepada teman-temannya untuk sikapnya tempo hari. Ia berjanji tidak akan meninggalkan teman-teman hanya karena sebuah game.
Rencananya, besok, bapak hendak mengembalikan handphone hadiah dari tantenya itu. Sarno berniat tidak akan memegang handphone itu sendiri. Biar emak atau bapaknya saja yang memegangnya dan ia akan meminta jika benar-benar butuh. Bapak dan emak senang sekali dengan perubahan sikap anaknya. Mereka sepakat untuk memberi kesempatan bermain game seminggu sekali padanya. Sarno bertekad ia akan memainkannya dengan bijak. Jika waktu seminggu sekali yang diberikan emak dan bapak ternyata bersamaan dengan banyak tugas yang harus dikerjakannya, ia tidak akan memainkan game dan menunggu sampai waktu benar-benar luang.
Akhirnya ia sadar, bahwa game yang selama ini ia mainkan di hampir setiap waktunya juga dapat merugikan jika tidak digunakan dengan bijak. Meski begitu Sarno masih tetap menyukai game. Tapi kini ia mengerti untuk memainkannya di waktu yang benar-benar luang yaitu ketika semua pekerjaan sekolah dan rumah terselesaikan. Kini, ia tidak bingung lagi ketika ditanya apa cita-citanya kelak. Ia ingin suatu saat bukan hanya dirinya yang memainkan game orang lain. Ia ingin menjadi pembuat game andal dan berniat memperkenalkan berbagai jenis permainan tradisional kepada seluruh dunia dalam game yang akan dibuatnya kelak. “Aku harus rajin belajar supaya apa yang aku inginkan bisa terwujud!” ucapnya mantap.
END

Post a CommentDefault Comments

emo-but-icon

Hot in week

Comments

Side Ads


jadwal-sholat

Text Widget

Connect Us

item